Sabtu, 11 April 2015

Menyoal Lolosnya UU Antiterorisme di Malaysia

UU itu menuai kecaman. Dikhawatirkan akan mengekang kebebasan sipil.

Menyoal Lolosnya UU Antiterorisme di Malaysia
Ilustrasi POTA (Free Malaysia Today)

Pemerintah Malaysia meloloskan Undang-Undang Pencegahan Terorisme (POTA) 2015, pada Selasa, 7 April 2015. UU ini memberikan kewenangan untuk melakukan penahanan hingga dua tahun, tanpa perlu proses peradilan.

Banyak pihak di dalam maupun luar Malaysia, segera mengecam UU yang dikhawatirkan bakal digunakan oleh pemerintah Malaysia, untuk mengekang kebebasan sipil.

POTA memberikan kewenangan pada otoritas keamanan, untuk melakukan pengawasan melalui berbagai saluran komunikasi. Mulai dari pengawasan di media sosial, hingga penyadapan percakapan telepon.

UU antiterorisme Malaysia yang baru itu pun, dengan cepat mengingatkan pada bagaimana pemerintah Malaysia menyalahgunakan UU Keamanan Internal (ISA), serta sejumlah UU lainnya untuk membungkam oposisi.

Menurut laporan HRW (Human Rights Watch) hampir 3.000 orang telah ditahan oleh pemerintah Malaysia, hanya selama 20 tahun sejak ISA diadopsi pada 1960 hingga 1981.

Di bawah ISA, pemerintah dapat memerintahkan penahanan, terhadap siapa pun yang dinilai sebagai ancaman bagi keamanan nasional. Tidak ada keharusan untuk memenuhi hak asasi paling dasar sekalipun.

Selama periode 1960an dan 1970an, pemerintah Malaysia menggunakan ISA untuk menekan aktivitas politik, terutama kelompok sayap kiri Partai Buruh dan Partai Sosialis Rakyat Malaysia.



Zombie

Wakil Direktur Asia HRW (Human Rights Watch) Phil Robertson, menyebut Undang-Undang Pencegahan Aksi Terorisme (POTA) yang baru diloloskan pemerintah Malaysia, bagaikan zombie atau "mayat hidup".

Pada wawancaranya dengan DW, yang dimuat pada laman HRW, Rabu, 8 April 2015, Phil menyebut POTA seperti membangkitkan kembali UU Keamanan Internal (ISA) dan UU Darurat (EO) yang telah dicabut pada 2012.

Phil menyebut banyak pertanyaan penting belum terjawab, merujuk pada gaya pemerintahan Malaysia selama ini, tentang bagaimana nantinya POTA akan diterapkan.

"Bermasalah, mengingat tidak ada tinjauan hukum, pada setiap tahap dalam proses POTA, bagi seseorang yang dituduh terlibat dengan tindakan yang diatur dalam POTA," kata Phil.

Dia menambahkan, banyak pihak khawatir pemerintah Malaysia memiliki motif tersembunyi, dengan merancang kewenangan untuk membolehkan penahanan tanpa proses hukum.

Phil menyandingkan POTA dengan ISA dan EO, yang dibuat untuk memerangi pemberontakan komunis, serta mengendalikan ketegangan rasial dan agama, yang kemudian disalahgunakan oleh pemerintah.

Selama beberapa dekade, pemerintah Malaysia telah memanfaatkan ISA dan EO untuk memenjarakan rival-rival politik, mengintimidasi, dan membungkam mereka yang berusaha mengungkap korupsi pejabat pemerintah.



ISA

Apa yang dimaksud ancaman keamanan nasional dalam ISA, tidak pernah memperoleh definisi yang spesifik. Membuat UU itu dapat dengan bebas, diinterpretasikan dan digunakan sesuai kepentingan penguasa.

ISA yang memberikan kewenangan untuk penahanan seseorang hingga 60 hari, yang kemudian dapat diperpanjang hingga dua tahun, serta dapat kembali diperpanjang lagi, sehingga dalam praktiknya tidak ada batas waktu.

Pada UU Pidana di Malaysia, polisi dibolehkan menahan seseorang, hanya jika mereka memiliki kecurigaan yang berdasar. Namun pada ISA, seorang polisi hanya perlu "alasan untuk meyakini".

Sementara itu, untuk melakukan penahanan tak terbatas, hanya membutuhkan persetujuan dari Menteri Dalam Negeri bahwa penahanan diperlukan bagi kelangsungan keamanan dan stabilitas negara.

Pada praktiknya, ISA digunakan untuk menahan semua musuh UMNO, kelompok penguasa tunggal di Malaysia. Tidak perlu ada tinjauan hukum, atau proses peradilan dalam setiap penahanan.

Semua tindakan atau keputusan yang dibuat Raja Malaysia atau Menteri, dalam melaksanakan kewenangan yang diatur oleh ISA, dilindungi dan tidak dapat dipertanyakan melalui prosedur apa pun.

ISA telah dihapus pada 2012, namun digantikan dengan UU Pelanggaran Keamanan (SOSMA) yang disetujui parlemen pada 18 Juni 2012, dan resmi diberlakukan pada 31 Juli 2012.



POTA

Beberapa hari setelah pemerintah Malaysia mengumumkan penangkapan 17 orang, yang diduga merencanakan aksi teror di Kuala Lumpur, POTA lolos tanpa perubahan di parlemen, Selasa, 7 April 2015.

Sebanyak 79 anggota parlemen menyatakan setuju dan 60 lainnya menolak, dalam pemungutan suara. Laman New Straits Times menyebut, awalnya pembahasan UU berjalan lancar di tingkat kebijakan.

Situasi menjadi lebih sulit, ketika kubu oposisi mengusulkan sejumlah perubahan dari rancangan awal. Mereka bersikeras mempertahankan semua dari 35 klausul, sehingga pembahasan berlangsung hingga 12 jam.

Akhirnya terjadi delapan kali pemungutan suara pada tingkat komite, atas setiap mosi untuk perubahan yang diusulkan, sebelum pemungutan suara akhir dilakukan untuk meloloskan POTA.

Pada akhirnya, semua hasil memenangkan pemerintah. Usul perubahan yang diajukan oleh oposisi ditolak. Salah satu perubahan yang diusulkan adalah mengenai pangkat seorang polisi yang dapat terlibat penangkapan tersangka.

Periode penahanan juga diusulkan lebih singkat, menjadi 14 hari dari 21 hari dalam rancangan awal. Oposisi juga mengusulkan perubahan dalam pengaturan perintah penahanan.

Menteri Dalam Negeri Ahmad Zahid Hamidi, dalam perdebatan mengatakan POTA harus dilihat dengan keyakinan, untuk memahami bahwa tujuan pemerintah adalah untuk langkah pencegahan.



Rehabilitasi

Zahid mengatakan rehabilitasi para tersangka menjadi prioritas dalam POTA. Dia menjamin POTA tidak akan disalahgunakan atau untuk menggantikan ISA. "Apa yang kami lakukan adalah mengenalkan pencegahan," ujarnya.

"Kekhawatiran itu karena mereka berpikir bahwa jika ada individu atau anggota partai politik yang memiliki pendapat berbeda, lalu POTA akan digunakan," kata Zahid, menekankan adanya klausul untuk itu.

Klausul yang dimaksudnya, menyatakan bahwa tidak ada seseorang yang dapat ditangkap atau ditahan, hanya karena keyakinan atau aktivitas politik. "POTA hanya untuk teroris," ucapnya.

"Ini adalah transparansi dari pemerintahan saat ini, di mana kami membiarkan kebebasan bagi perbedaan politik," kata Zahid. Hal senada disampaikan Menteri Pembangunan Daerah dan Regional Shafie Apdal.

Dikutip laman The Star, Shafie mengatakan, mereka yang tidak terlibat dalam aktivitas teror, tidak perlu memiliki ketakutan atas diimplementasikannya UU antiterorisme yang baru.

"POTA sangat penting bagi negara seperti Malaysia. Kita telah melihat banyak negara di dunia memperkenalkan hukum serupa, untuk menjamin agar mereka tidak jatuh ke dalam situasi kekacauan," ucapnya.

POTA disebut Shafie penting untuk mempertahankan perdamaian di Malaysia, terutama menghadapi ancaman dari kelompok-kelompok seperti ISIS, yang saat ini telah berhasil merekrut banyak militan asing, termasuk dari Malaysia.



Aktivitas Teror

Malaysia menjadi fokus penyelidikan antiteror, sejak serangan 11 September 2001 di AS. Beberapa pelaku memiliki kaitan dengan Jamaah Islamiyah (JI), jaringan yang tersebar di Malaysia, Indonesia, dan Filipina.

Sikap tegas Soeharto saat berkuasa sebagai presiden di Indonesia, membuat beberapa tokoh militan seperti Abu Bakar Bashir, Abdullah Sungkar, Mohamad Iqbal berlindung ke Malaysia, pada 1980an.

Mereka kemudian membangun JI dengan merekrut para pengikutnya selama bertahun-tahun, yang juga dikirimkan ke Afghanistan saat terjadi perang sipil. Membuat mereka mendapat pelatihan militer.

Menurut laporan HRW, para ulama dari Indonesia mendapat banyak pengikut di Malaysia, karena dinilai jauh lebih otentik dan berani dari ulama-ulama di Malaysia, yang kerap menghindari hal-hal sensitif.

Narasumber yang dikutip HRW mengatakan, Iqbal dan Bashir tidak pernah mengatakan tentang rencana membentuk negara pan-Islam yang meliputi Malaysia, Indonesia dan Filipina, seperti dituduhkan pemerintah Malaysia.

Namun, mereka mengajarkan tentang jihad, terutama Iqbal yang mengajarkan bahwa Muslim Malaysia memiliki kewajiban untuk melakukan jihad di Ambon, Indonesia.

Jaringan itu berhasil menciptakan perpecahan sektarian di Ambon pada 1990an, hingga pecahnya kerusuhan agama pada Januari 1999. Ambon menjadi kunci bagi Iqbal untuk meradikalisasi para pengikutnya.



Dasar Hukum

Menurut salah seorang pengikut Iqbal, ada beberapa cara untuk memenuhi kewajiban Jihad selain datang ke Ambon, yaitu dengan menyumbangkan uang maupun doa. Dengan begitu, proses radikalisasi dapat terus berjalan.

Malaysia akhirnya menangkap Iqbal pada Juni 2001 di Selangor menggunakan ISA. Tanpa itu, sulit bagi Malaysia membuktikan tuduhan keterlibatan Iqbal dalam kegiatan terorisme.

Sementara itu, Abu Bakar Bashir, yang disebut sebagai pemimpin spiritual JI, ditangkap setelah Bom Bali 2002. Bashir diadili dan divonis bersalah karena pelanggaran imigrasi, tapi bebas dari segala tuduhan terorisme.

Pada masa kini, Malaysia dan banyak negara lain juga menghadapi dilema, dalam menangani warga negaranya yang bergabung dengan ISIS di Irak dan Suriah. Potensi ancaman yang ada, setelah mereka kembali pulang ke negaranya.

Untuk menahan warganya yang kembali setelah bergabung dengan ISIS, Malaysia harus menjawab apa dasar hukum yang akan digunakan, serta bagaimana membuktikan tuduhan terlibat dalam aksi teror.

Lebih sulit lagi penanganan atas warga negara, yang berhasil dicegah sebelum bergabung dengan ISIS. Mereka belum melakukan kesalahan, tapi tidak dapat disanggah bahwa mereka berpotensi menjadi ancaman.

Atas dasar itu, pernyataan Zahid bahwa POTA penting, terutama sebagai langkah penting dengan memprioritaskan rehabilitasi, menjadi alasan yang dapat diterima.



SOSMA

Setelah ISA dicabut, PM Malaysia Najib Razak mengakui bahwa SOSMA 2012 sebagai penggantinya, tidak mencukupi untuk mengatasi ancaman yang meningkat dari kelompok seperti ISIS.

Makna pencegahan dalam ISA, walau akhirnya disalahgunakan, namun memungkinkan otoritas keamanan melakukan tindakan sebelum sesuatu terjadi. Itu yang menjadi perbedaan dengan SOSMA.

Itu artinya, otoritas penegak hukum harus menunggu sesuatu terjadi, sebelum mereka bertindak. Otoritas tidak dapat menahan seorang tersangka, yang melakukan pertemuan untuk membahas serangan.

Oleh karena itu, pemerintah Malaysia merasa perlu untuk memperkenalkan UU baru yang dapat digunakan sebagai dasar hukum. Terutama dengan banyaknya warga Malaysia yang telah bergabung dengan ISIS.

Tidak seperti ISA, POTA juga bukan UU yang berdiri sendiri, namun membutuhkan UU lain seperti UU Pencegahan Tindakan Kriminal (POCA), SOSMA dan beberapa UU lain.

Pemerintah Malaysia telah memperkenalkan UU baru Langkah Khusus Melawan Terorisme di Negara Lain (SMATOC), memungkinkan otoritas melakukan tindakan, bagi mereka yang terlibat dalam aktivitas teroris di negara lain.



Pelaksanaan

Belajar dari bagaimana ISA dibuat dan kemudian disalahgunakan, hal penting yang harus ditekankan antara lain masalah definisi, seperti apa yang dimaksud aktivitas terorisme.

Untuk menghindari penyalahgunaan, sudah ada klausul yang mengatur bahwa POTA tidak dapat digunakan untuk melakukan penangkapan berdasarkan perbedaan pandangan dan aktivitas politik.

Namun, masih perlu definisi yang spesifik, mengenai aktivitas terkait terorisme. Juga tentang rehabilitasi dan langkah-langkah pencegahan lainnya. Apa langkah-langkah yang teruji dalam melakukan rehabilitasi.

Merujuk pada suksesnya upaya radikalisasi, pencegahan menjadi topik penting dalam pembahasan mengenai solusi. Bagaimana cara yang tepat untuk mencegah, jangan sekadar melakukan penyadapan atau pemblokiran saluran komunikasi.

Upaya melindungi warga negara sangat penting. Namun upaya itu, diharapkan tidak dilakukan dengan membatasi kebebasan sipil. (art)

Sumber: viva.co.id


Comments
0 Comments

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Mengenai Saya

Foto saya
facebook.com/iqbal.alhabsi - iqballsyaif@gmail.com
Designed ByBlogger Templates